Searching...
17.3.09

Fadin Oh Fadin...

Dering handphone berbunyi nyaring yang memainkan lagu kesukaanku memaksaku bangun dari tidur. Dengan mata yang masih setengah melek aku melihat benda yang bergetar itu, layarnya tertulis panggilan dari Fadin.
“Woi! Bangun lo!” suara berat yang kukenal menyapaku atau lebih tepat menggangguku.
”Hah?” tanyaku dengan suara yang terdengar masih ngantuk.
”Bangun neng! Udah jam 8 nih! Masuk kuliah jam 9 lho!”
”Iya tau! Cerewet lo!” jawabku setengah kesal.
”Mandi sana! Bau lo!”
”Sialan lo! Iya, ya udah gue mandi dulu! Daah!” jawabku lalu mengakhiri percakapanku dengan laki-laki yang sudah menjadi sahabatku 3 tahun terakhir ini.

Dengan rasa kantuk yang masih menempel aku mulai membuka mata dan bangun dari tempat tidur yang agak berantakan itu. Sinar matahari pagi sudah menyapa, dengan rambut yang masih berantakan aku menyambar handuk dan masuk kamar mandi. Dalam kamar kost berdinding hijau muda yang tak terlalu besar itu, aku bersiap ke kampus. Diiringi dengan hentakan musik yang meramaikan kamarku, aku mulai bersiap, memakai baju, menyapukan bedak tipis, menyisir rambut, memakai sepatu, dan akhirnya tinggal menekan tombol di handphone memanggil Fadin dan menunggunya datang menjemputku.

Kostan kami memang tidak berjarak jauh, dan kali itu memang jadwal kuliah kami sama. Sepanjang perjalanan ke kampus yang memakan waktu sekitar 10 menit itu kami tidak henti-hentinya bercerita dan bercanda. Fadin memang laki-laki yang menyenangkan, dia ganteng, tinggi, pintar, lucu, pokoknya bisa dibilang idaman semua perempuan. Banyak perempuan iri padaku, karena aku sangat dekat dengan Fadin, banyak yang mengira kami pacaran. Memang kadang Fadin bersikap dan memberi perhatian layaknya seorang kekasih padaku, tapi sebenarnya kami hanya sebatas sahabat. Walaupun tidak bisa dipungkiri, aku pernah juga sih sempat naksir dia! Naksir banget malah!

Namun, dibalik segala kesempurnaannya Fadin memiliki rahasia yang tidak diketahui orang banyak. Satu tahun yang lalu Fadin mengejutkanku dengan pengakuannya bahwa ia menyukai sesama jenis alias gay. Saat itu aku luar biasa kaget, karena selama ini ia selalu bercerita tentang kehidupan percintaannya yang memang sering berganti-ganti pacar. Walaupun memang ia tidak pernah mengenalkan satu pun pacarnya padaku, aku tidak menaruh curiga padanya. Sampai suatu saat ia mengakui bahwa ia gay, dan selama ini yang ia ceritakan adalah laki-laki.

Dunia ini memang sudah gila, pikirku. Selama ini aku tak pernah menyangka fenomena sosial yang masih tabu dalam masyarakat kita ini ada di hadapanku. Terlepas dari rasa kaget aku tetap menerima Fadin sebagai sahabatku, karena itu bukan alasan untuk menjauhinya. Tak ada yang berubah dari persahabatan kami semenjak pengakuan Fadin itu. Saat ini, ya begini lha persahabatanku dengan Fadin!
“Din, malam minggu kemana?” tanyaku.
“Belum ada rencana sih! Emang kenapa?”
“Jalan yuk!” ajakku.
“Udah bilang ma pacar lo belum? Nanti disangka gue bawa kabur pacar orang lagi! He..” canda Fadin.
“Udah kok! Tadi gue chatting ma dia! Sekalian gue mau cerita sesuatu ma lo! Okay?”
“Siip deh bu! See you!”

Aku memang sudah punya pacar, tapi dia sudah 1 tahun terakhir ini harus bekerja di Jerman. Randi namanya, ia pria yang baik, kami sudah pacaran selama 2 tahun, sekarang walaupun kami jauh tapi komunikasi kami berjalan lancar.

Sesampainya di kafe aku langsung memilih tempat di sudut ruangan itu lalu memesan secangkir susu coklat hangat, ditemani oleh lampu yang tidak terlalu terang, sofa yang nyaman, serta diiringi suara musik yang lembut aku menunggu kedatangan Fadin.
“Woi! Ngelamun ajah!” sapa Fadin mengagetkanku.
“Dasar tukang telat!”
“Maap, macet bo!” jawab Fadin dengan bahasa gaulnya.
“Din, Randi ngelamar gue!”
“Hah? Serius lo? Kapan? Kan dia masih di Jerman?”
“Iya, tadi pas chatting dia ngelamar gue gitu!”
“Ooh... bagus donk! Selamat yah! Asyik bentar lagi ada makan-makan gratis nih di pesta lo! Hehe...”
“Dasar! Makan melulu pikiran lo!”
“Emang kapan?”
“Belum tau, skripsi gue aja belum selesai! Dia juga masih di sana! Tapi dia maunya secepatnya.”
“ Jadi kapan?”
“Yaa... setelah gue lulus, gue langsung nikah, terus ikut dia pindah ke Jerman!”
“Hah?” Fadin terlihat sedikit kaget mendengar penjelasanku.
“Iya, gitu deh rencananya!”
“He.. bagus lha! Asyik donk tinggal di luar negeri!” candanya.
Sesaat kami sempat diam namun Fadin akhirnya terus menggodaku tentang rencana pernikahanku.

Hari demi hari berlalu dengan cepat, hari pernikahanku pun tinggal menghitung hari. Semua persiapan telah dilakukan, baik itu hal-hal yang berkaitan dengan acara pernikahan sampai mengenai kepindahanku ke Jerman bersama Randi, suamiku nanti.

Akhirnya hari paling bersejarah dalam hidupku itu pun datang, semuanya berjalan lancar. Perasaanku bercampur aduk, senang, sedih, gugup, takut dan perasaan lainnya menjadi satu. Detik demi detik menuju akad pernikahanku, aku sangat gugup saat itu. Terdengar langkah kaki mendekati ruang tunggu yang kutempati, ternyata Fadin datang menghampiriku. Tapi entah mengapa wajahnya terlihat sama gugupnya denganku. Tidak seperti biasanya, ia menjadi diam, ia hanya mendekatiku sambil menatap mataku dalam-dalam dan mengucapkan kalimat yang tak pernah kusangka bisa keluar dari mulutnya.

“Gue cinta lo Anita!” Ia berbisik pelan di telingaku dan meninggalkanku begitu saja, ia hanya menoleh padaku dan tersenyum lalu ia pergi meninggalkanku dengan sejuta tanya di pikiranku.



created by Lidia Rani (sekitar tahun 2007an)
:D

0 komentar:

 
Back to top!